Long Distance Relation (LDR) adalah istilah untuk hidup berpisah jarak dengan pasangan.
Hidup terpisah jarak dengan orang disayangi karena tuntutan tugas negara pernah kami alami selama 2 tahun.
Awalnya hari-hari dilalui tanpanya terasa lambat, sungguh berat tapi harus dijalani.
Ada hal yang kurang dan aneh tanpanya.
Tapi seiring berjalannya waktu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, sampailah tahun ke 2 yang dinanti.
Alhamdulillah. Meskipun dengan deraian air mata yang terurai saat-saat rindu datang menyeruak di dalam hati. Ribuan doa terlantunkan untuknya disetiap sujud panjang ditengah malam sepi. Hanya Allah SWT tempat bersandar.
Berawal dari SK promosinya ke pulau paling timur Indonesia yaitu Papua, tepatnya daerah Timika.
Sebelumnya kami tinggal bersama di daerah Tangerang Selatan, dan bapak bertugas di Jakarta Pusat.
Mendapatkan SK promosi ke Timika adalah hal yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya tapi menjadi kenyataan yang harus dijalani.
Setelah bermusyawarah keluarga menghasilkan keputusan saya dan anak-anak harus tetap di Tangerang Selatan tidak ikut suami. Hal ini diputuskan dengan berbagai pertimbangan salah satunya adalah faktor keamanan.
Kantor memberikan waktu 2 minggu untuk persiapan. Waktu yang tidak lama itu kami pergunakan sebaik-baiknya, salah satunya adalah melakukan khitan anak yang pertama yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Acara khitan sederhana kami laksanakan, Alhamdulillah lancar. Setelah seminggu syukur Alhamdulillah sudah sembuh, jadi suami tenang berdinas ke Timika.
Mengingat kembali awal keberangkatan suami waktu itu mendapatkan jadwal penerbangan pukul 3.00 WIB dini hari. Alarm sudah kami setel sebelum itu sekitar pukul 1.30 WIB, setelah sholat lail anak-anak saya bangunkan untuk melihat bapaknya berangkat. Mereka tidur lebih awal hingga tak perlu waktu lama untuk membangunkan mereka.
Taksi yang di pesan dari sore haripun datang, memecahkan kesunyian malam gelap. Anak-anak memeluk erat bapaknya seakan tak ingin melepaskannya, tangis kakak beradik pecah, membuat mata ini tak mampu untuk menahan air mata, tapi taksi harus segera jalan, lambaian tangan kami hingga taksi yang bapak tumpangi berbelok dan tak kelihatan.
Kami masuk ke rumah dan tak lupa mengunci pintu setelah dan mendatangi mereka yang melanjutkan tangisnya di tempat tidur. Kupeluk erat mereka sambil sambil menghibur mereka, sambil berusaha menguatkan hati agar nampak tegar didepan anak-anak, padahal aslinya rapuh ingin menangis kencang.
"Hai anak-anak hebat, sabar ya, bapak gak lama Insyallah pulang. Mudah-mudahan semua baik-baik saja. Yuk kita tidur lagi, besok sekolah lho, nanti ngantuk disekolah."
Kami bertiga berusaha memejamkan mata, namun tak juga bisa terlelap hingga bunyi hp, ternyata pesan dari bapak yang sudah sampai di bandara. Alhamdulillah anak-anak sudah tidur lagi.
Hingga bapak mengirim pesan terakhir, "boarding Ma," dan aku pun membalasnya "Fii amanillah Pa," mata ini tak bisa terpejam lagi hingga subuh.
Hari pertama kulalui tanpanya, menyiapkan sarapan untuk berempat kini hanya bertiga, setiap pagi mencium tangannya ketika berangkat kerja dan mengantarkan ke stasiun sekarang tidak. Pengeluaran bertambah tentunya dengan 2 dapur, dan banyak hal lagi yang berubah.
Akan tetapi suatu kesyukuran LDRan sudah jaman teknologi cangging, hingga bisa memanfaatkannya untuk mendekatkan yang jauh. Setiap malam anak-anak ingin menelpon bapaknya. Dan ketika paketan kami sedang full kami gunakan skipe untuk menghubungi bapak, atau sebaliknya. Jarak boleh jauh tetapi komunikasi tak boleh terputus apalagi anak-anak masih kecil-kecil yang membutuhkan figur bapaknya.
Hari-hari kami lalui, belum sebulan kami terpisah jarak namun sikecil yang kala itu berusia 2,5 tahun setiap hari menanyakan kapan bapak pulang, membuat hati semakin trenyuh ketika melihatnya tak berdaya karena demam sudah beberapa hari yang mengharuskan cek darah karena demam tak kinjung reda walau sudah diberi penurun demam.
Ternyata gejala types yang mengharuskannya untuk istirahat total dari berkegiatan. Saya berharap masih bisa dirawat dirumah. Setelah konsultasi dengan dokter, Alhamdulillah bisa, dengan beberapa hal harus diperhatikan, seperti makannya apa yang boleh dan tidak boleh.
Sayapun ijin tidak mengajar untuk sementara waktu untuk fokus merawat anak yang secang sakit. Karena bagaimanapun keluarga/anak adalah prioritas utama.
Saat-saat seperti ini sangat terasa tanpanya. Namun selalu saya selalu meyakinkan diri bahwa kami bisa melewati ini, InsyaAllah.
Dengan berat hati kuberi kabar wa kalau si kecil sakit dengan tujuan agar bila terjadi sesuatu bapaknya tahu. Karena saya selalu memberikabar apapun yang terjadi dirumah, juga mohon agar mendoakan anaknya sehat kembali.
Walaupun bapak tak pernah memberi kabar kalau beliu sakit disana, baca Timika.
Ternyata selama 2 tahun di Timika beliau terkena malaria hingga 4 kali namun beliau tak mengabariku dengan alasan agar aku tak kepikiran.
Setelah kami ngumpul lagi baru beliau cerita bahwa salah satunya ketika adek gejala types, bapak juga sedang kambuh malarianya. MasyaAllah.
Ketika liburan datang, anak-anak ingin juga berlibur dengan bapaknya. Tapi harus bersabar lagi karena bapak gak bisa cuti apalagi bila akhir tahun. Akhirnya liburan bertiga mencari tempat yang gak terlalu jauh dari rumah.
Pernah juga suami curhat tentang pekerjaannya, harga kebuyuhan yang sangat tinggi, juga tentang orang-orang di sekitarnya yang membuatnya hampir tak kuat menjalani. Tetapi dengan doa dan ikhtiar waktu 2 tahun bisa terlewati.
Kami bertemu secara real hanya 2 bulan sekali bahkan 3 bulan sekali. Pertemuan yang jarang itu benar-benar kami manfaatkan sebaik-baiknya.
Menandai hari-hari libur panjang untuk mengambil cuti dan memesan tiket pulang jauh hari sebelumnya itu yang dilakukan untuk mendapatkan harga yang miring.