Minggu, 25 Maret 2018

Kulwap bersama mbak Indari Mastuti


Bersyukur berada di grup ODOP, yang di dalamnya banyak bertebaran ilmu. Seperti  hari Jumat mubarok kali  ini kami Kulwap dengan tema
 "Mengoptimalkan Bisnis Menulis dari Rumah", bersama seorang yang subhanalloh luar biasa, yaitu teh Indari Mastuti. Senang sekali mendapatkan inspirasi semangatnya.

Siapakah teh Indari Mastuti?

Beliau adalah seorang penulis 65 judul buku dan 10 buku biografi, CEO Indscript, Founder Sekolah Perempuan, Founder Komunitas Ibu-ibu Doyan Bisnis, Founder Komunitas Ibu-ibu  Doyan Nulis, Founder Komunitas Emak Jagoan, Founder Sekolah Gratis Indonesia ( SEGI) dan juga beliau menjabat sebagai salah satu pengurus Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia Jawa Barat (IWAPI Jabar).

Banyak bukan aktivitasnya?
Banyak sekali...
Sepak terjangnya yang gemilang dan banyak menginspirasi ini maka beliau banyak mendapat penghargaan dari berbagai pihak.

Di sela-sela kesibukkannya ternyata ada amalan harian yang tak terlupakan seperti sholat dhuha, sedekah nasi, tilawah dan memasang murottal sepanjang hari. Ini adalah salah satu rahasia sukses yang beliau paparkan.

Aktivitas menulis sudah ditekuninya  sejak masih SD hingga sekarang.

Ketika mengawali bisnis  menulis dari rumah dengan membangun Indscript karena menginginkan totalitas. Benar-benar ingin menjadi penulis yang bukan hanya sekedar sampingan saja.

Mulanya bisnis menulis dati rumah dirintis beliau dengan mengerjakan banyak  tugas hanya berdua dengan suami. Seiring berkembangnya bisnis maka mereka merekrut karyawan yang akan melakukan tugas sama seperti yang telah dilakukannya bersama suami dengan membuat SOP, sehingga tinggal mentoring dan controllingnya saja.

Untuk memulai bisnis menulis dari rumah maka
langkah awalnya adalah kita harus  terus menulis dan meningkatkan kualitas tulisan, melatih sense of salesmanship dalam diri kita dimana perannya adalah kita PD untuk menawarkan jasa penulisan kita kepada pihak-pihak yang memerlukannya.

Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan jika kita ingin memulai bisnis menulis di rumah yaitu:

💜Pertama mental bisnis, anggaplah bahwa bisnis penulisan kita seperti halnya bisnis bisnis lainnya.

💜Kedua, siapkan portofolio anda apakah itu bentuknya di blog, artikel di berbagai media cetak, tulisan Anda yang bertebaran di media online.

💜Ketiga, pastikan anda membidik pasar yang jelas, dan jasa penulisan yang dikuasai.

💜Keempat, jangan malu-malu untuk membranding diri anda sebagai seorang penulis.

Untuk me-maintain semangat menulisnya maka beliau membaca, diskusi dan nonton film.

Adapun ide menulisnya muncul dalam kegiatannya sehari-hari dan dari apa yang dilihatnya.

Menjadikan menulis sebagai kebutuhan sehingga akan terus dan terus dilakukan.

Terimakasih sharing ilmunya Teh Indari, ini sangat menginspirasi. Sukses selalu ya...

Semoga semangat dan konsistennya menular.

O iya, untuk info produk dari Indscript bisa di lihat di tautan berikut:

1. Instagram @indblackcatalog
2. Fanpage https://www.facebook.com/pg/indblackhandsock/photos/?tab=album&album_id=426531084428493
3. Telegram t.me/INDBLACKcatalog



#Jum'atKulwapODOP

Membersamai Anak


Sebagai ibu bekerja di rumah saya membersamai perkembagan anak dari hari kehari.
Sungguh suatu kebahagiaan tersendiri yang menghapus lelah apabila melihat anak berkembang semakin sehat dan pintar.

Muhammad Harun Yahya, lahir 2 tahun yang lalu tepatnya tanggal 17 Maret 2016. Kini sudah lewat masa golden age (2 tahun). Semoga selalu sehat, bahagia, tambah pintar dan sholeh, Aamiin!

Seolah tak ingin melewatkan setiap tahap perkembangannya dengan mengabadikannya. 

Di usia trisemester pertama, berusaha merangsang perkembangannya dengan sering memeluk dan menimang dengan penuh kasih sayang, menggantung mainan atau benda yang cerah yang bergerak, sering mengajak tersenyum dan bicara, memperdengarkan murottal.




Alhamdulillah di usia 3 bulan, adek bisa mengangkat tegak kepalanya, membalas senyum, tertawa, ketika diajak bicara, mengoceh dan belajar tengkurap, sungguh perjuangan yang luar biasa, pantang menyerah hingga bisa. 

Melihat video ini saya belajar dari seorang bayi 3 bulan yang memiliki semangat tinggi, mau mencoba lagi dan lagi hingga mahir melakukan sesuatu.

Ketika belajar berbicara dan mengikuti apa yang saya ucapkan. Tentunya bahasa bibir yang mudah diucapkan misalnya "Mamamama, Papapapa."
Ternyata yang pertama diucapakannya adalah kata "Papapapa."



Belajar mengangkat badannya, ongong-ongong untuk merangkakpun tak terlewati. Dari tiga anak yang melewati tahapan merangkak hanya adek Harun tapi juga lebih cepat jalan, kakak-kakaknya tanpa merangkak mereka ngasut dengan perut.

Diusia 11 bulan bisa berjalan selangkah demi selangkah dan lancar diusia 1 tahun,berbarengan dengan tumbuh gigi pertama.

Belajar makan sendiri walau kadang masih disuap bila sedang tidak ingin makan sendiri.

https://www.facebook.com/wahanten.anten/videos/696204393900355/

Toilet traning Alhamdulillah lulus sebelum usia 2 tahun.  Sekarang sudah tidak mau pake pospak walau bepergian.

Sudah mampu mengutarakan keinginannya, berbicara dalam 3 kata, "tiba-tiba agar-agar jatuh," ini kalimat yang pertama terdengar dengan 3 kata walau belum jelas ucapan huruf  r-nya.

Ikut membersihkan halaman dengan sapu dan pengki adalah kesukaannya. Tak bisa melihat sampah di halaman.😁

https://www.facebook.com/wahanten.anten/videos/818555731665220/

Di usianya yang sudah 2 tahun lewat beberapa hari belum disapih, saya berharap mau berhenti sendiri untuk tidak minum asi karena kemauannya sendiri bukan karena paksaan, tapi sudah sering disounding bahwa "adek sudah besar, gak usah nenen lagi ya!". Belum berhasil juga. Harus bersabar dan terus berusaha.



















Selasa, 13 Maret 2018

Ayahku Hebat

Ayah Petani Kecil yang Hebat

Ayahku seorang petani kecil yang harus menafkahi istri dan 6 orang anak.

Awalnya beliau diajak bertransmigrasi ke Sulawesi oleh kakek, waktu itu sudah berusia remaja.

Para transmigran diberi lahan oleh pemerintah berupa tempat tinggal, sawah 1 hektar dan ladang 1/2 hektar.

Awal kedatangan mereka di daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Luwu Utara, kecamatan Sukamaju sangat memprihatinkan, tak ada listrik, kondisi masih hutan belantara yang banyak binatang buas.

Walaupun disediakan tanah untuk digarap tapi harus bekerja keras membuka lahan dengan berbagai macam binatang buasnya dan pepohanan yang sangat lebat dan masih minim infrastruktur.

Dengan kegigihan para transmigran, Alhamdulillah sekarang sudah menjadi kota kecamatan yang padat penduduk, penduduk asli bersuku Bugis membaur dengan pendatang yang bersuku Bali, jawa dan Madura. Mereka hidup bertoleransi, sehingga kedamaian tercipta.

Awalnya banyak penduduk transmigran yang tidak betah bermukim di daerah transmigrasi itu, tak sedikit yang meninggalkan jatah lahannya dan kembali ke daerah semula.

Tanah yang di tinggalkan itu salah satunya adalah milik tetangga kakek saya yang sekarang ditempati dan digarap oleh ayah.

Setelah berkeluarga ayah menafkahi keluarga dari  menggarap tanah itu, juga kadang menjadi kuli serabutan.

Ketika saya lahir  lahan persawahan sudah mulai di garap dan belum menjadi sawah dan belum menanam padi, karena itu saya diberi nama Wahanten "menggarap sawah dengan prihatin," sambil menanam palawija seperti kedelai, jagung, kacang hijau dan lain-lain.

Genap usia 2 tahun adek pun lahir, musibah menimpa keluarga kami, ibu yang baru melahirkan bayi mengalami gangguan jiwa, karena banyak masalah yang mendera dan tak kuat untuk ditanggungnya sebagai ibu, istri dan anak.

Sebenarnya masalah ini bermula dari tante yang akan menikah sedang ibu saya baru lahiran belum ada sebulan,  dimana buyut kami sedang berseteru dengan nenek, jadi diacara pernikahan tante buyut kami tidak mau menghadiri. Hal ini membuat  merasakan betapa beratnya masalah di keluarga besarnya.

Saat parahnya bayinya yang belum genap sebulan akan dibuang disungai dekat rumah, untung ada tetangga yang mengetahui.

Mama sakit 8 bulan. Dengan kesabaran, iktiar dan doa, juga support dari orang yang terdekat yaitu ayah Alhamdulillah bisa sembuh dan sehat walafiat.

Ketika adek saya yang ke 3 lahir lahan persawahan baru jadi, kakek memberi nama cucunya Wahhadi sebagai wujud syukur yang maksudnya "sawah sudah jadi."

Namun bisa menghasilkan padi sesuai yang diharapkan, syukurnya pangan para transmigran sebelum berhasil bercocok tanam masih disubsidi pemerintah selama beberapa tahun.

Pernah suatu ketika padi belum juga menguning, jadi belum bisa menuainya. Waktu itu menjelang lebaran Idul Fitri yang identik dengan baju baru bagi anak-anak. Lebaran kurang beberapa hari lagi tapi ayah belum membelikan kami baju baru,  karena ketidaktahuan ayah waktu itu meminjam uang dengan jaminan padi yang belum tua. Tak memikirkan kalau hal itu tidak diperbolehkan dalam agama islam,  yang ada dalam pikiran beliau  bagaimana bisa membelikan baju baru untuk anak-anaknya.

Hingga memiliki anak ke-6 lahir,  ayah sudah bisa membeli tambahan lahan di tetangga desa yang sekarang ditanami kakao. Ini lebih ringan dan lebih menguntungkan hasilnya bisa untuk membiayai sekolah juga kuliah kami.

Ayah walaupun tidak tamat SD, beliau bisa menulis dan membaca walaupun tulisannya tidak terlalu bagus tapi lumayan lah untuk orang yang tak tamat SD.

Dengan kedaan ayah seperti itu tapi masyarakat memberikan amanah kepada beliau untuk menjadi RT ketika saya usia anak-anak hingga remaja. Cukup lama bukan?

Adek ke-5 bersekolah di sebuah SMP, saat itu adek ke-2 sudah menjadi guru honorer di sekolah tersebut, dan menjadi teman wali kelas adek ke-5. Ketika rapor dibagikan dan harus ditandatangani oleh orang tua, baru dikembalikan lagi, setelah di kembalikan wali kelaspun  bertanya setengah tidak percaya kalau itu tandatangan ayah karena mungkin menurut sang wali kelas sangat jelek tanda tangan ayah. Akhirnya wali kelas nanya ke adek yang juga guru di situ untuk memastikan bahwa itu tandatangan ayah kami. Setelah mengkonfirmasi barulah dia percaya.

Ayah kami tidak tamat SD tapi beliau menginginkan kami anak-anaknya bisa bersekolah sampai setinggi-tingginya, tak menghiraukan cibiran orang yang mengejek keluarga kami kebanyakan kelas karena 6 anak semua sedang bersekolah.

Kala itu penduduk transmigran masih belum sadar akan pentingnya pendidikan, mereka berpikir bahwa bersekolah hanya  untuk menjadi pegawai negeri.

Mereka merasa rugi jika menyekolahkan anak-anaknya dan akhirnya hanya menjadi  Ibu Rumah Tangga.

Ayah sangat memberikan keluasan untuk kami memilih sekolah, beliau tak pernah memaksa anak-anaknya.

Ini saya rasakan ketika saya telah tamat dari sebuah pondok di sebuah kota Palopo yang jaraknya 82 km dari desa kami.

Setelah tamat saya seperti teman-teman yang lain ingin pendidikan ke  pergutuan tinggi, apalagi saya selalu masuk 3 besar di kelas.

Kota tujuan untuk melanjutkan kuliah adalah kota propinsi Sulawesi Selatan yaitu  Makassar.

Kami tidak memiliki keluarga di Makassar, tapi dengan ijinnya dan juga doanya kami bisa kuliah di sana yang jarak tempuh 400km dari kampung kami.
Alhamdulillah kami bisa bersekolah dan kuliah.

Tak sedikit yang bertanya bagaimana membiayai anak sekolah dan kuliah padahal cuma petani kecil, dan kadang yang bertanya adalah para pegawai yang menurut kami hidupnya berkecukupan bahkan bisa di bilang kaya di desa kami.

Menurut kami karena kegigihan dan keberkahan rezkinya sehingga bisa menyekolahkan anak-anaknya.

Setelah usianya tak muda lagi dan kami anak-anaknya sudah dewasa Ayah pesiun jadi RT tapi masyarakat menunjuk beliau untuk memegang keuangan(bendahara) masjid di desa kami hingga sekarang ini.

Sosok teladan yang sederhana, sabar,  jujur, amanah dan tanpa pamrih.

Ayah berbagi peran dan tugas dengan ibu, ketika ibu yang sedang keluar rumah untuk menjual hasil panen, ayah bisa menggantikan ibu untuk memasak, mencuci pirin dan mengasuh kami.

Yang terlupakan sampe saat ini adalah masakan beliau yang lebih enak dibanding masakan ibu.

Kami bangga menjadi anak-anakmu.











Hidup LDRan dengan Pasangan

Long Distance Relation (LDR) adalah istilah untuk hidup berpisah jarak dengan pasangan.

Hidup terpisah jarak dengan orang disayangi karena tuntutan tugas negara pernah kami alami selama 2 tahun.

Awalnya hari-hari dilalui tanpanya terasa lambat, sungguh berat tapi harus dijalani.

Ada hal yang kurang dan aneh tanpanya.

Tapi seiring berjalannya waktu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, sampailah tahun ke 2 yang dinanti.
Alhamdulillah. Meskipun dengan deraian air mata yang terurai saat-saat rindu datang menyeruak di dalam hati. Ribuan doa terlantunkan untuknya disetiap sujud panjang ditengah malam sepi. Hanya Allah SWT tempat bersandar.

Berawal dari SK promosinya ke pulau paling timur Indonesia yaitu Papua, tepatnya daerah Timika.

Sebelumnya kami tinggal bersama di daerah Tangerang Selatan, dan bapak bertugas di Jakarta Pusat.

Mendapatkan SK promosi ke Timika adalah hal yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya tapi menjadi kenyataan yang harus dijalani.

Setelah bermusyawarah keluarga menghasilkan keputusan saya dan anak-anak harus tetap di Tangerang Selatan tidak ikut suami. Hal ini diputuskan dengan berbagai pertimbangan salah satunya adalah faktor keamanan.

Kantor memberikan waktu 2 minggu untuk persiapan. Waktu yang tidak lama itu kami pergunakan sebaik-baiknya, salah satunya adalah melakukan khitan anak yang pertama yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Acara khitan sederhana kami laksanakan, Alhamdulillah lancar. Setelah seminggu syukur Alhamdulillah sudah sembuh, jadi suami tenang berdinas ke Timika.

Mengingat kembali awal keberangkatan suami waktu itu mendapatkan jadwal penerbangan pukul 3.00 WIB dini hari. Alarm sudah kami setel sebelum itu sekitar pukul 1.30 WIB, setelah sholat lail  anak-anak saya bangunkan untuk melihat bapaknya berangkat. Mereka tidur lebih awal hingga tak perlu waktu lama untuk membangunkan mereka.

Taksi yang di pesan dari sore haripun datang, memecahkan kesunyian malam gelap. Anak-anak memeluk erat bapaknya seakan tak ingin melepaskannya, tangis kakak beradik pecah, membuat mata ini tak mampu untuk menahan air mata, tapi taksi harus segera jalan, lambaian tangan kami hingga taksi yang bapak tumpangi berbelok dan tak kelihatan.

Kami masuk ke rumah dan tak lupa mengunci pintu setelah dan mendatangi mereka yang melanjutkan tangisnya di tempat tidur. Kupeluk erat mereka sambil sambil menghibur mereka, sambil berusaha menguatkan hati agar nampak tegar didepan anak-anak, padahal aslinya rapuh ingin menangis kencang.

"Hai anak-anak hebat, sabar ya, bapak gak lama Insyallah pulang. Mudah-mudahan semua baik-baik saja. Yuk kita tidur lagi, besok sekolah lho, nanti ngantuk disekolah."

Kami  bertiga berusaha memejamkan mata, namun tak juga bisa terlelap hingga bunyi hp, ternyata pesan dari bapak yang sudah sampai di bandara. Alhamdulillah anak-anak sudah tidur lagi.

Hingga bapak mengirim pesan terakhir, "boarding Ma," dan aku pun membalasnya "Fii amanillah Pa," mata ini tak bisa terpejam lagi hingga subuh.

Hari pertama kulalui tanpanya, menyiapkan sarapan untuk berempat kini hanya bertiga, setiap pagi mencium tangannya ketika berangkat kerja  dan mengantarkan ke stasiun sekarang tidak. Pengeluaran bertambah tentunya dengan 2 dapur, dan banyak hal lagi yang  berubah.

Akan tetapi suatu kesyukuran LDRan sudah jaman teknologi cangging, hingga bisa memanfaatkannya untuk mendekatkan yang jauh. Setiap malam anak-anak ingin menelpon bapaknya. Dan ketika paketan kami sedang full kami gunakan skipe untuk menghubungi bapak, atau sebaliknya. Jarak boleh jauh tetapi komunikasi tak boleh terputus apalagi anak-anak masih kecil-kecil yang membutuhkan figur bapaknya.

Hari-hari kami lalui, belum sebulan kami terpisah jarak namun sikecil yang kala itu berusia 2,5 tahun setiap hari  menanyakan kapan bapak pulang, membuat hati semakin trenyuh ketika melihatnya tak berdaya karena demam sudah beberapa hari yang mengharuskan cek darah karena demam tak kinjung reda walau sudah diberi penurun demam.

Ternyata gejala types yang mengharuskannya untuk istirahat total dari berkegiatan. Saya berharap masih bisa dirawat dirumah. Setelah konsultasi dengan dokter, Alhamdulillah bisa, dengan beberapa hal harus diperhatikan, seperti makannya apa yang boleh dan tidak boleh.

Sayapun ijin tidak mengajar untuk sementara waktu untuk fokus merawat anak yang secang sakit. Karena bagaimanapun keluarga/anak adalah prioritas utama.

Saat-saat seperti ini sangat terasa tanpanya. Namun selalu saya selalu  meyakinkan diri bahwa kami bisa melewati ini, InsyaAllah.

Dengan berat hati kuberi kabar wa kalau si kecil sakit dengan tujuan agar bila terjadi sesuatu bapaknya tahu. Karena saya selalu memberikabar apapun yang terjadi dirumah, juga mohon agar mendoakan anaknya  sehat kembali.

Walaupun bapak tak pernah memberi kabar kalau beliu sakit disana, baca Timika.

Ternyata selama 2 tahun di Timika beliau terkena malaria hingga 4 kali namun beliau tak mengabariku dengan alasan agar aku tak kepikiran.

Setelah kami ngumpul lagi baru beliau cerita bahwa salah satunya ketika adek gejala types, bapak juga sedang kambuh malarianya. MasyaAllah.

Ketika liburan datang, anak-anak ingin juga berlibur dengan bapaknya. Tapi harus bersabar lagi karena bapak gak bisa cuti apalagi bila akhir tahun. Akhirnya liburan bertiga mencari tempat yang gak terlalu jauh dari rumah.

Pernah juga suami curhat tentang pekerjaannya, harga kebuyuhan yang sangat tinggi, juga tentang orang-orang di sekitarnya yang membuatnya hampir  tak kuat menjalani. Tetapi dengan doa dan ikhtiar waktu 2 tahun  bisa terlewati.

Kami bertemu secara real hanya 2 bulan sekali bahkan 3 bulan sekali. Pertemuan yang jarang itu benar-benar kami manfaatkan sebaik-baiknya.

Menandai hari-hari libur panjang untuk mengambil cuti dan memesan tiket pulang jauh hari sebelumnya itu yang dilakukan untuk mendapatkan harga yang miring.




















Kulwap Ibu Sekolah Terbaikku



Jum'at kali ini KulWap online lagi dengan narasumber Mbak Dian Kusumawardhani, temanya adalah Ibu Sekolah Terbaikku.

Beliau adalah penulis buku berjudul "Ibu adalah Sekolah Terbaikku."

Kegiatannya yang banyak di ranah publik tapi tetap produktif dan menerapkan HE kepada anak-anaknya.

Dalam materi KulWap itu dijelaskan bahwa ibu adalah  sekolah utama, atau madrasatul ula bagi anak-anaknya yang akan menjadi penerus peradaban.

Karena ibu adalah sekolah utama maka sejatinya seorang ibu adalah pembelajar sejati yang mau mengenali potensi dirinya dan mau mengembangkan agar bisa melaksanakan perannya sebagai ibu dengan maksimal.

Seorang pembelajar tak pernah berhenti belajar dan akan selalu haus dengan ilmu.

Ciri-ciri seorang pembelajar adalah:

1. Mau belajar dengan siapapun, dimanapun, dan dengam media apapun.
2.Selalu mengalokasikan waktu untuk belajar.
3. Selalu mentadaburi diri sendiri dan mengevaluasinya kerjanya dan melakukan yang terbaik untuk keluarganya.
4. Belajar, mencari tahu, rendah hati dan bijaksana dalam menerapkan ilmunya.

Menjadi sekolah yang baik itu artinya seorang ibu menjadi fasilitator Home Educator (HE) untuk anak-anaknya dalam belajar.

Apakah Home Educator (HE) ?
HE adalah pendidik berbasis rumah yang menjadi amanah bagi setiap orangtua.

Orangtua berkewajiban untuk  memberikan pendidikan bagi anak-anaknya, sehingga rumah bisa menjadi miniatur peradaban.

Ada beberapa hal sehingga  HE penting yaitu:
1. No one responsible except us.(Tak ada yang bertanggung jawab kecuali kita)
2.It takes one village to raise a child. ( Perlu orang satu kampung untuk mendidik seorang anak)
3.Helping children with their own potency.( Membantu anak-anak untuk dengan potensi mereka sendiri)
4. Dengan HE rumah adalah miniatur peradaban

Bagaimakah pelaksanaan HE?
1. Tazkiatun Nafs(pensucian jiwa). Ini memperbanyak bertaubat, mhasabah diri, mohon ampun, zikir, sholat, tilawah dan ibadah lainnya.
2. Diskusi dengan pasangan tentang pendidikan anak-anak.
3. Belajar bersama
4. Alqur'an danhadis jadi pedomaa
5. Fokus pada cahanya
6. Membuat kurikulum sederhana
7. Perkuat bonding dengan bahasa ibu
8. Jika sudah masuk usia sekolah maka perkaya dengan wawasan pendidikan.
9. Konsep utama HE adalah Iqro dan Tholabul ilmi

Home schooling (HS) dan Home Education (HE) berbeda, orangtua  yang melakukan HS untuk anak-anaknya maupun yang memilih bersekolah di luar wajib untuk melalukan HE dirumahnya.

Dengan HE orang tua mendidik anak-anaknya dengan fitrahnya, mengembangkan sisi unik yang dimiliki anak bukan menjejali anak (out inside) tetapi sebaliknya inside out agar anak-anak menjadi insan kamil (manusia yang sempurna).

HE ini dimulai dari mencari pasangan( istri atau suami), calon ayah dan calon ibu.

Framework  yang digunakan adalah Fitrah based education ustadz Harry Santosa.

Kunci dalam melakukan HE adalah amati, terlibat, lihat dan dengar lalu catat.
ini adalah contoh kurikulum HE


foto mbak  Dian



Kesimpulannya:
menjadi ibu sekolah terbaik anak-anaknya beratti harus menjadi pembelajar sejati.

Sumber:

Kulwap Wag ODOP, Ibuku Sekolah Terbaikku, 9 Maret, 2018, Dian Kusumawardhani.


#Jum'atKulwapODOP

Sabtu, 03 Maret 2018

Nomaden


Nomaden adalah sebuah istilah untuk hidup yang berpindah-pindah tempat.

Semenjak menikah 14 tahun lalu kami sudah mengalami pindah tempat tinggal sebanyak 8 kali.

Ini adalah sebuah konsekuensi menjadi abdi negara yang siap dipindahtugaskan  ke seluruh wilayah Indonesia. Sudah menjadi tuntutan pekerjaan.

Salah satunya adalah suami saya.  Berpindah tugas dari satu pulau ke pulau yang lain, dari satu kota ke kota yang lain.

Hanya sekali tak ikut pindah tugas ke Timika, Papua, karena beberapa alasan.
Waktu itu kami LDRan selama 2 tahun. Saya anak-anak tinggal di Tangerang Selatan, suami di Timika.

Anak kami 3 orang memiliki tempat lahir yang berbeda. Pertama di Sulawesi Selatan, Kedua di Tangerang Selatan dan yang ketiga di Kalimantan Selatan.

Menjadi istri dan keluarga abdi negara banyak suka dan dukanya.

Adapun sukanya:
1. Mengetahui daerah baru lebih banyak.
2. Punya banyak saudara dan teman di berbagai pulau.
3. Mengenal  budaya Indonesia yang beragam.
4. Mengenal kuliner Indonesia bervariasi.
5. Belajar survive dimanapun kami berada karena wilayah Indonesia adalah tanah airku.

Dukanya:
1. Packing barang setiap  kali akan pindahan.
2. Bongkar lagi barangnya setelah sampai di tempat baru sekaligus merapikannya.
3. Mencari sekolah anak di tempat yang baru.
4.Menyesuikan diri pada lingkungan baru.
5. Membeli peralatan rumah tangga yang baru lagi.
6. Sedih ketika harus berpisah dengan tetangga yang sudah seperti saudara.

Untuk mensiasati banyaknya barang apabila kami berpindah tempat tinggal, maka membeli barang-barang karena butuh terhadap barang tersebut bukan karena ingin, ini membantu meminimalisir barang mubazir.

Awalnya tidak membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan, akhirnya waktu dari Sulawesi Selatan ke Tangerang Selatan, barang-barang besar yang tak bisa dibawa sebagian kami jual dan hibahkan.

Hal-hal yang kami lakukan ketika pindah ke suatu daerah adalah:

1. Mencari tahu daerah itu  sekaligus letak kantornya dimana, syukur pas dapat rumah dinas yang kosong dekat kantor. Kalaupun tidak dapat rumah dinas, maka kami mencari tempat tinggal yang dekat dengan sekolahan anak, pasar dan sarana kesehatan.
2. Menceritakan kepada anak keadaan daerah baru yang akan di tinggali.
3.Mencarikan teman anak disekitar lingkungan tempat tinggal.
4.Menemani anak diminggu pertama di sekolah barunya.

Kadang kami ada waktu kurang lebih 2 minggu untuk persiapan pindah tetapi untuk kepindahan dari Kalimantan Selatan ke Tangerang Selatan benar-benar mendadak.

Suatu siang seperi biasa bapak pulang untuk makan siang tak berucap sepatah katapun menyerahkan sebuah SK
mutasi, "Apa ini?" tanyaku sambil menatap bapak.
"SK pindah ke Jakarta". Mendengarnya kaget, antara senang tapi ada juga sedih. Senang karena kembali ke rumah, sedih karena anak pertama akan ujian UAN, waktu itu kelas 6 SD tapi masih di awal-awal semester. Sebenarnya bisa kami tetap tinggal di Banjarmasin menunggu sampai selesai ujian baru menyusul bapak, tapi anak-anak terutama mas Nanda anak pertama kami menolak dan minta ikut pulang.

Akhirnya kami berusaha mencari sekolah yang masih bisa menerimanya di Tangerang Selatan. Alhamdulillah masih ada yang bisa menerimanya. Semua dimudahkan Allah SWT untuk berkumpul.

Dalam waktu seminggu mencari ekspedisi, tiket, sekolah juga mengurus rumah kami yang sedang disewa orang.Semua kami syukuri dan nikmati, sambil berdoa semoga sudah tidak pindah lagi, kalaupun pindah tugas dari Jakarta ke sekitar Tangerang Selatan saja, KPPN Tangerang Selatan atau pindah kantor tapi tetap di wilayah Jakarta, Aamiin, hingga anak-anak besar dan kuliah.

Kami nomaden sekarang tapi punya impian kelak ketika pensiun ingin pulang ke desa kelahiran di Sukamaju,  Sulawesi Selatan.  Aamiin.




Lomba 17 an

Sendiri mendaftar, berangkat bareng teman, pengumuman pun sendiri. Masyaallah tabarokallah,