Ayah Petani Kecil yang Hebat
Ayahku seorang petani kecil yang harus menafkahi istri dan 6 orang anak.
Awalnya beliau diajak bertransmigrasi ke Sulawesi oleh kakek, waktu itu sudah berusia remaja.
Para transmigran diberi lahan oleh pemerintah berupa tempat tinggal, sawah 1 hektar dan ladang 1/2 hektar.
Awal kedatangan mereka di daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Luwu Utara, kecamatan Sukamaju sangat memprihatinkan, tak ada listrik, kondisi masih hutan belantara yang banyak binatang buas.
Walaupun disediakan tanah untuk digarap tapi harus bekerja keras membuka lahan dengan berbagai macam binatang buasnya dan pepohanan yang sangat lebat dan masih minim infrastruktur.
Dengan kegigihan para transmigran, Alhamdulillah sekarang sudah menjadi kota kecamatan yang padat penduduk, penduduk asli bersuku Bugis membaur dengan pendatang yang bersuku Bali, jawa dan Madura. Mereka hidup bertoleransi, sehingga kedamaian tercipta.
Awalnya banyak penduduk transmigran yang tidak betah bermukim di daerah transmigrasi itu, tak sedikit yang meninggalkan jatah lahannya dan kembali ke daerah semula.
Tanah yang di tinggalkan itu salah satunya adalah milik tetangga kakek saya yang sekarang ditempati dan digarap oleh ayah.
Setelah berkeluarga ayah menafkahi keluarga dari menggarap tanah itu, juga kadang menjadi kuli serabutan.
Ketika saya lahir lahan persawahan sudah mulai di garap dan belum menjadi sawah dan belum menanam padi, karena itu saya diberi nama Wahanten "menggarap sawah dengan prihatin," sambil menanam palawija seperti kedelai, jagung, kacang hijau dan lain-lain.
Genap usia 2 tahun adek pun lahir, musibah menimpa keluarga kami, ibu yang baru melahirkan bayi mengalami gangguan jiwa, karena banyak masalah yang mendera dan tak kuat untuk ditanggungnya sebagai ibu, istri dan anak.
Sebenarnya masalah ini bermula dari tante yang akan menikah sedang ibu saya baru lahiran belum ada sebulan, dimana buyut kami sedang berseteru dengan nenek, jadi diacara pernikahan tante buyut kami tidak mau menghadiri. Hal ini membuat merasakan betapa beratnya masalah di keluarga besarnya.
Saat parahnya bayinya yang belum genap sebulan akan dibuang disungai dekat rumah, untung ada tetangga yang mengetahui.
Mama sakit 8 bulan. Dengan kesabaran, iktiar dan doa, juga support dari orang yang terdekat yaitu ayah Alhamdulillah bisa sembuh dan sehat walafiat.
Ketika adek saya yang ke 3 lahir lahan persawahan baru jadi, kakek memberi nama cucunya Wahhadi sebagai wujud syukur yang maksudnya "sawah sudah jadi."
Namun bisa menghasilkan padi sesuai yang diharapkan, syukurnya pangan para transmigran sebelum berhasil bercocok tanam masih disubsidi pemerintah selama beberapa tahun.
Pernah suatu ketika padi belum juga menguning, jadi belum bisa menuainya. Waktu itu menjelang lebaran Idul Fitri yang identik dengan baju baru bagi anak-anak. Lebaran kurang beberapa hari lagi tapi ayah belum membelikan kami baju baru, karena ketidaktahuan ayah waktu itu meminjam uang dengan jaminan padi yang belum tua. Tak memikirkan kalau hal itu tidak diperbolehkan dalam agama islam, yang ada dalam pikiran beliau bagaimana bisa membelikan baju baru untuk anak-anaknya.
Hingga memiliki anak ke-6 lahir, ayah sudah bisa membeli tambahan lahan di tetangga desa yang sekarang ditanami kakao. Ini lebih ringan dan lebih menguntungkan hasilnya bisa untuk membiayai sekolah juga kuliah kami.
Ayah walaupun tidak tamat SD, beliau bisa menulis dan membaca walaupun tulisannya tidak terlalu bagus tapi lumayan lah untuk orang yang tak tamat SD.
Dengan kedaan ayah seperti itu tapi masyarakat memberikan amanah kepada beliau untuk menjadi RT ketika saya usia anak-anak hingga remaja. Cukup lama bukan?
Adek ke-5 bersekolah di sebuah SMP, saat itu adek ke-2 sudah menjadi guru honorer di sekolah tersebut, dan menjadi teman wali kelas adek ke-5. Ketika rapor dibagikan dan harus ditandatangani oleh orang tua, baru dikembalikan lagi, setelah di kembalikan wali kelaspun bertanya setengah tidak percaya kalau itu tandatangan ayah karena mungkin menurut sang wali kelas sangat jelek tanda tangan ayah. Akhirnya wali kelas nanya ke adek yang juga guru di situ untuk memastikan bahwa itu tandatangan ayah kami. Setelah mengkonfirmasi barulah dia percaya.
Ayah kami tidak tamat SD tapi beliau menginginkan kami anak-anaknya bisa bersekolah sampai setinggi-tingginya, tak menghiraukan cibiran orang yang mengejek keluarga kami kebanyakan kelas karena 6 anak semua sedang bersekolah.
Kala itu penduduk transmigran masih belum sadar akan pentingnya pendidikan, mereka berpikir bahwa bersekolah hanya untuk menjadi pegawai negeri.
Mereka merasa rugi jika menyekolahkan anak-anaknya dan akhirnya hanya menjadi Ibu Rumah Tangga.
Ayah sangat memberikan keluasan untuk kami memilih sekolah, beliau tak pernah memaksa anak-anaknya.
Ini saya rasakan ketika saya telah tamat dari sebuah pondok di sebuah kota Palopo yang jaraknya 82 km dari desa kami.
Setelah tamat saya seperti teman-teman yang lain ingin pendidikan ke pergutuan tinggi, apalagi saya selalu masuk 3 besar di kelas.
Kota tujuan untuk melanjutkan kuliah adalah kota propinsi Sulawesi Selatan yaitu Makassar.
Kami tidak memiliki keluarga di Makassar, tapi dengan ijinnya dan juga doanya kami bisa kuliah di sana yang jarak tempuh 400km dari kampung kami.
Alhamdulillah kami bisa bersekolah dan kuliah.
Tak sedikit yang bertanya bagaimana membiayai anak sekolah dan kuliah padahal cuma petani kecil, dan kadang yang bertanya adalah para pegawai yang menurut kami hidupnya berkecukupan bahkan bisa di bilang kaya di desa kami.
Menurut kami karena kegigihan dan keberkahan rezkinya sehingga bisa menyekolahkan anak-anaknya.
Setelah usianya tak muda lagi dan kami anak-anaknya sudah dewasa Ayah pesiun jadi RT tapi masyarakat menunjuk beliau untuk memegang keuangan(bendahara) masjid di desa kami hingga sekarang ini.
Sosok teladan yang sederhana, sabar, jujur, amanah dan tanpa pamrih.
Ayah berbagi peran dan tugas dengan ibu, ketika ibu yang sedang keluar rumah untuk menjual hasil panen, ayah bisa menggantikan ibu untuk memasak, mencuci pirin dan mengasuh kami.
Yang terlupakan sampe saat ini adalah masakan beliau yang lebih enak dibanding masakan ibu.
Kami bangga menjadi anak-anakmu.
Selasa, 13 Maret 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lomba 17 an
Sendiri mendaftar, berangkat bareng teman, pengumuman pun sendiri. Masyaallah tabarokallah,
-
Bismillah, setelah diberi waktu dua pekan untuk berdiskusi menyelami masalah bersama dengan tim. Kali ini dapat materi untuk menggali lebih ...
-
Bismillah.. Proyek hari ke 9 bermain rumah-rumahan dengan tenda. Keinginan kaka Putri dan Mas Nanda untuk punya tenda terkabul setelah sek...
-
Gempa Bumi Pada tanggal 21 Januari 2018 terjadi gempa di daerah Lebak, Banten, yang getaran terasa hingga ke Jakarta, Tangerang Selatan, B...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar